No Fault Dovorce

NO FAULT DIVORCE
DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
Muh. Irfan Husaeni





A.   LATAR BELAKANG MASALAH
Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) pada beberapa Pengadilan Agama yang telah dipublikasikan melalui website resmi Pengadilan Agama masing-masing dan Direktori Putusan Mahkamah Agung terdapat beberapa putusan dalam perkara perceraian setelah kontatiring terdapat kalimat sebagai berikut “…maka tidak perlu lagi dipertimbangkan siapa yang bersalah …” atau dengan redaksi yang berbeda namun sama maksudnya, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan kajian lebih dalam melalui sudut pandang akademik. Bukan menilai putusannya karena itu ranah yuridis.
Adalah benar bahwa dalam perceraian sebagai perkara perdata hakim hanya mencari kebenaran formil sesuai dengan Hukum Acara Perdata (HIR/Rbg) bukan mencari kebenaran materil  seperti dalam perkara pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 Tentang KUHP. Perceraian sebagai perkara perdata dapat dikabulkan apabila pengadilan yang bersangkutan telah berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan terbukti ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Namun demikian, apakah mungkin hakim memutus tanpa mempermasalahkan sama sekali siapa yang bersalah? Jika hakim memutus perceraian tanpa mempermasalahkan siapa yang bersalah, maka pengadilan agama terkesan hanya sebagai lembaga legalisasi perceraian semata. Siapa saja yang datang melapor dan dapat membuktikan bahwa rumahtangganya sudah tidak harmonis dan tidak ada harapan hidup rukun kembali maka akan dapat akta cerai? Jika hakim tidak memeriksa siapa yang bersalah, maka dimana letak keadilannya?
Dalam beberapa kasus perceraian ada kalanya disebabkan suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga, suami sekian tahun tidak memberi nafkah tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum (tidak bertanggung jawab), suami meninggalkan istri hingga lebih 2 tahun, suami telah berpoligami tanpa prosedur, begitu pula disebabkan alasan istri melakukan nusyuz. Jika terjadi kasus seperti ini bagaimana mungkin hakim dalam konsiderannya menyatakan “…maka tidak perlu lagi dipertimbangkan siapa yang bersalah…”?. Kalimat inilah yang menyebabkan penulis mengalami “kegelisahan akademik” karena kalimat tersebut akan menyakiti salah satu pihak yang berperkara dan hal itu tidak mencerminkan rasa keadilan.

B.     RUMUSAN MASALAH
Dari latar latar belakang tersebut di atas maka penulis perlu membuat rumusan masalah sebagai batas pembahasan dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      Mengapa lahir kalimat “…maka tidak perlu lagi dipertimbangkan siapa yang bersalah…?”
2.      Bagaimana dampak kalimat tersebut bagi pencari keadilan?
3.      Bagaimana tinjauan akademik terhadap kalimat “…maka tidak perlu lagi dipertimbangkan siapa yang bersalah …”?

C.    PEMBAHASAN
Manfaat publikasi putusan pengadilan agama adalah supaya dapat dijadikan bahan kajian dan pembinaan oleh Msy/PTA, sehingga kualitas putusan Msy/PTA dapat meningkat dengan baik.[1] Pada awal pembahasan ini penulis sajikan 5 sampel pertimbangan putusan pengadilan agama yang telah dipublikasikan sehingga menjadi hak masyarakat, sebagai berikut:
1.      Putusan Nomor: 483/Pdt.G/2011/PA.Mdn tanggal 7 Juli 2011 terdapat pertimbangan  yang menyebutkan majelis berpendapat “sudah selayaknya tidak lagi mempertimbangkan dari pihak mana sumber pemicu perselisihan dan pertengkaran, sebab mencari siapa yang salah pada saat ini bukanlah sebuah solusi yang terbaik…” (merujuk Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 38.K/AG/1990 tanggal 5 Oktober 1991).
2.      Putusan Nomor: 0219/Pdt.G/2011/PA. Pkl tanggal 5 Oktober 2011, terdapat pertimbangan “…tidak lagi mencari siapa yang menjadi penyebabnya…”, (merujuk Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 38.K/AG/1990 tanggal 5 Oktober 1991).
3.      Putusan Nomor: 542/Pdt.G/2011/PA.Ptk. tanggal 7 Februari 2011, terdapat pertimbangan yang menyebutkan “…tidak lagi mencari siapa yang menjadi penyebabnya, melainkan ditekankan pada perkawinan itu yang sudah sangat sulit untuk dipertahankan keharmonisannya…”, (merujuk Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 38.K/AG/1990 tanggal 5 Oktober 1991).
4.      Putusan Nomor: 990/Pdt.G/2011/PA.Mks. tanggal 16 Agustus 2011, terdapat pertimbangan yang menyebutkan “…maka tidak dilihat siapa yang salah…”, (merujuk Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 38.K/AG/1990 tanggal 5 Oktober 1991).
5.      Putusan Nomor: 87/Pdt.G/2011/PA.Nbr. tanggal 24 Oktober 2011, terdapat pertimbangan yang menyebutkan “…bahwa dalam kasus perceraian semata-mata ditujukan pada perkawinan itu sendiri, tanpa mempersalahkan siapa yang bersalah…” (merujuk pula pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 38.K/AG/1990 tanggal 5 Oktober 1991).

Data tersebut diatas adalah hanya sebagai sampel data pelengkap -yang kebetulan mewakili 5 pulau besar di Indonesia- berguna sebagai syarat formil sebuah makalah supaya bernilai ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.[2] Jadi penulis sama sekali bukan dalam rangka menilai putusan karena apa yang telah diputus hakim harus dianggap benar sesuai adagium res judikata pro veritate habetur karena hakim dianggap tahu akan hukumnya sebagaimana adagium ius curianovit.[3]

1.      Mengapa muncul kalimat “…maka tidak perlu lagi dipertimbangkan siapa yang bersalah…?”
Bahwa munculnya kalimat tersebut didasarkan pada beberapa faktor seperti Undang-Undang, Yurisprudensi  Mahkamah Agung dan kaidah hukum yang menjadi rujukan hakim dalam memutus perkaraya, antara lain:
a.      Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa:
1)      Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2)      Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Dari pasal tersebut di atas jelas tidak ada kewajiban hakim untuk mencari siapa yang salah sebagai penyebab kehidupan dalam rumah tangga antara suami istri mengalami perpecahan (brokendown marriage).  Dalam hal perceraian didasarkan atas alasan adanya keretakan yang tidak dapat diperbaiki, sehingga dengan terbuktinya adanya keadaan tersebut, maka tidak perlu lagi dipertimbangkan siapa yang bersalah.
b.      Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon.  Ruh dari pasal tersebut adalah bahwa dalam perkara bidang perkawinan seperti cerai gugat dan cerai talak tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Maka siapa yang mengajukan gugatan baik di tingkat pertama, banding dan kasasi maka dialah yang dibebani/dihukum untuk membayar biaya perkara. Mencari kesalahan salah satu pihak dalam hal kenyataan kerukunan tidak mungkin dapat diharapkan akan menimbulkan pengaruh yang tidak baik bagi kedua belah pihak dan anak keturunan mereka.
c.       Yurisprudensi Mahkamah Agung No: 38.K/AG/1990 Tanggal 5 Oktober 1991.
Yurisprudensi ini melahirkan kaidah hukum  bahwa dalam hal perceraian didasarkan atas alasan adanya keretakan yang tidak dapat diperbaiki, bahwa dengan terbuktinya adanya keadaan tersebut, maka tidak perlu lagi dipertimbangkan siapa yang bersalah. Yurisprudnsi inilah yang banyak dipakai sebagai rujukan para hakim dalam memutus perkara perceraian termasuk 5 sampel putusan tersebut diatas.
d.      Kaidah hukum No fault divorce.
Maksud kaidah tersebut adalah bahwa dalam perkara perceraian hakim tidak perlu melihat siapa yang salah. Dalam beberapa literatur No fault divorce didefinisikan sebagai perbedaan yang tidak dapat dijelaskan yang menyebabkan gangguan yang tak terselesaikan yang mendorong ke arah kehancuran rumah tangga.
Paham No fault divorce sendiri muncul pertama kalinya di California pada tahun 1970.[4] Adapun konsekwensi logis dari paham ini adalah:
1)      No fault divorce menghapus alasan alasan yang mendasari perceraian. Perceraian bisa dimulai dengan permohonan netral tanpa tindakan khusus atau pembahasan latar belakang bercerai sebagai dasar pertimbangan putusan.
2)      Hukum yang baru menghapus proses konseling (biasanya mencoba untuk merujukkan kembali kedua pasangan) yang biasanya dilakukan hingga hakim membacakan putusan.
3)      Aspek pembagian harta atau yang bersifat finansial lebih didasari oleh hak kekayaan, persamaan dan kebutuhan ekonomi daripada besarnya kesalahan (berdasarkan alasan bercerai) dan putusan berbasis jender (suami wajib menyantuni istri setelah bercerai).
4)      No fault divorce memberi pemahaman baru tentang tanggung jawab suami-istri, dengan mengadopsi norma baru persamaan hak jender dalam rumah tangga.
Konsekwensi kaidah hukum No fault divorce  bahwa perceraian hanya dapat terjadi bila rumah tangga telah pecah (syiqaq) dengan tidak perlu melihat siapa yang bersalah, maka kaidah hukum tersebut harus ditafsirkan bahwa di dalamnya mengandung perngertian bahwa bagi pihak yang bersalah tidak kehilangan hak untuk mengajukan perceraian, namun untuk dikabulkan atau tidaknya oleh pengadilan, maka pengadilan tetap wajib mempertimbangkan sebab-sebab pecahnya rumah tangga demi menjaga dan menegkkan prinsip keadilan.[5]
Menurut Erlan Naofal, perkembangan hukum keluarga di beberapa negara Eropa menunjukkan bahwa alasan-alasan perceraian telah dimodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman. Di Negara Belanda Pasal 151 N-BW tahun 1971 ditetapkan bahwa perceraaian dapat diputus pengadilan jika perkawinan itu sudah tidak dapat dirukunkan lagi karena hal ini sebagai bukti keretakan rumah tangga (broken down marriage) dan tidak perlu lagi dicari siapa yang bersalah (matrimonial guilt). Pihak suami atau istri yang datang ke pengadilan harus dapat membuktikan di hadapan hakim bahwa rumah tangganya telah retak dan sudah tidak ada harapan untuk rukun kembali. [6]
Di Inggris semula menganut asas bahwa perceraian hanya dapat dilakukan oleh penggugat yang tidak bersalah dan dapat membuktikan kesalahan tergugat yang telah melakukan pelanggaran perkawinan. Namun sejak dikeluarkannya The Matrimonial Act 1973 timbul kaidah baru bahwa gugatan perceraian boleh diajukan ke pengadilan oleh pihak suami atau istri atas dasar perkawinan yang telah retak (brokendown marriage) yang tidak dapat diperbaiki lagi.[7]

2.      Bagaimana dampak kalimat tersebut bagi pencari keadilan?
Memperhatikan penyebab perceraian sebagaimana tertulis dalam hukum positif, tentunya ada pelaku (subject) yang bersalah sebagai penyebab terjadinya perceraian[8], yaitu:
a)      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b)      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c)      Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih setelah perkawinan berlangsung.
d)     Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e)      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f)       Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g)      Suami melanggar taklik talak.
h)     Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
i)       Suami melanggar perjanjian perkawinan.
Dari alasan-alasan perceraian tersebut diatas jelas sekali bahwa alasan itu ada penyebabnya dan setiap penyebab pasti ada pelakunya baik istri ataupun suami. Maka hal itu perlu dipermasalahkan dan digali oleh hakim karena kesalahan suami atau istri berakibat besar terhadap penerapan dan akibat hukumnya.
Menurut Hamzah, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat dipakai sebagai hukum terapkan dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama yaitu yang terkait dengan akibat pelanggaran terhadap Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam huruf (b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya, (d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain, dan (g) Suami melanggar taklik talak, karena dalam kasus tersebut ada hak-hak keperdataan yang dilanggar oleh salah satu pihak antara suami atau isteri. [9]
a.      Dampak psikologis.
Dalam kasus suami telah melakukan kekejaman atau penganiayaan berat  yang membahayakan istri (physically), atau suami berselingkuh/berpoligami tanpa prosedur juga sejatinya bentuk kekejaman secara non fisik (psychologically)[10] sedangkan saat putusan dibacakan istri mendengarkan kalimat “…maka tidak perlu lagi dipertimbangkan siapa yang bersalah…” sungguh hal ini sangat melukai istri sebagai pihak yang dirugikan, kalimat itu dapat menciderai rasa keadilan bagi masyarakat khususnya pihak yang dirugikan.
Pihak yang datang ke pengadilan agama adalah para pencari keadilan yang hak-haknya dirugikan karena adanya pihak yang bersalah, lalai dan tidak bertanggung jawab. Mereka datang bukan atas kemauan sendiri dan bukan sesuatu yang direncanakan, melainkan mereka datang karena merasa sudah tidak ada lagi jalan lain, karena semua jalan yang ditempuh telah mengalami kebuntuan. Pengadilan sebagai pintu terakhir hendaknya dapat membangun mental para pencari keadilan, kalaupun mereka sudah sakit karena luka hati, jangan sampai mereka bertambah sakit dengan satu kalimat “…maka tidak perlu lagi dipertimbangkan siapa yang bersalah…” kalau tidak ada yang salah, tidaklah mungkin salah satu pihak datang mohon keadilan pada pengadilan agama.
b.      Dampak sosiologis.
Cepat atau lambat namun pasti masyarakat akan mengetahui bahwa pengadilan agama dalam memeriksa perkara perceraian tidak mencari siapa yang bersalah atau siapa penyebab keretakan rumahtangga, yang penting apabila penggugat/pemohon yang datang ke pengadilan dan mampu membuktikan dalil-dalilnya bahwa dirinya sudah tidak harmonis dan tidak akan rukun kembali maka hakim akan mengabulkannya.
Jika ini yang terjadi maka pengadilan agama oleh masyarakat akan dianggap sebagai lembaga legalitas perceraian dan dicap sebagai lembaga isbat cerai.[11] Kalau tidak dilihat siapa yang bersalah maka dimana letak keadilannya? Padahal pengadilan agama adalah lembaga perlindungan yang memberikan keadilan kepada mereka yang hak-haknya dirugikan.

3.      Tinjauan akademik terhadap kalimat “…maka tidak perlu lagi dipertimbangkan siapa yang bersalah …”?
a.      Putusan sebagai karya ilmiah.
Sudikno Mertokusumo mengatakan bahawa pekerjaan hakim kecuali bersifat praktis routine juga ilmiah. Sifat pembawaan daripada tugasnya menyebabkan hakim harus selalu mendalami ilmu pengetahuan hukum untuk mementapkan pertimbangan-pertimbangannya sebagai dasar dari putusannya.[12] Putusan adalah karya ilmiah. Ilmiah berasal dari 2 kata ilmu dan yah. Ilmu adalah sesuatu yang memiliki obyek, struktur, metode pengembangan, dan fakta empiris. Yah nisbiyah adalah sesuatu yang disandarkan atau bersifat kesertaan. Jadi ilmiah adalah bersifat mengandung nilai-nilai keilmuan.[13]
Sebagai karya ilmiah putusan dibuat oleh hakim melalui proses panjang mulai gugatan/permohonan, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan kesimpulan para pihak selanjutnya setelah musyawarah hakim mengambil kesimpulan. Kesimpulan hakim secara menyeluruh dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam persidangan yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan.[14]
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH., putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.[15] Karena melalui proses panjang dengan menggunakan mekanisme hukum acara perdata terhadap obyek sebuah perkara, maka untuk sampai kepada putusan maka hakim harus berfikir secara ilmiah.
Menurut Chalid Narboko  dan Abu Achadi,[16] berfikir ilmiah adalah suatu kegiatan pemikiran yang sunggu-sungguh terhadap suatu konsep dan idea dengan menggunakan mekanisme, metoda  terhadap obyek tertentu. Tentunya diperlukan bebarapa tahapan untuk mencapai sesuatu cara yang dapat dikatakan berfikir ilmiah, yaitu:
1)      Skeptis.
Adalah upaya selalu menanyakan bukti-bukti, fakta-fakta terhadap setiap pernyataan. Skeptis dalam arti sempit adalah pernyataan tentang keragu-ruguan  atau tidak percaya. Dalam arti luas adalah pengingkaran terhadap kemungkinan pengetahuan. Pendek kata skeptis adalah sikap menangguhkan pertimbangan (judgment) sampai analisa kritis menjadi sempurna dan segala bukti yang mungkin sudah diperoleh. Skeptis yang menyeluruh akan membawa kita pada sikap tidak terikat dan menjadikan mustahil segala tindakan yang konsisten dan terfikir dan memang hal ini tidak ideal juga tidak memuaskan bagi kehidupan pribadi atau masyarakat. Hasil akhir sikap skeptis adalah sikap kehati-hatian, peka akan bahaya dogmatis maka skeptis yang menyeluruh menjadikan seseorang toleran dan berfikiran terbuka.[17] Dalam persidangan skeptis seorang hakim ditunjukkan pada wajibnya pembuktian para pihak yang mendalilkan untuk meyakinkan hakim bahwa fakta tertentu benar adanya.
2)      Analitis.
Adalah kegiatan untuk selalu menimbang-nimbang setiap permasalahan yang dihapainya, mana yang relevan dan mana yang menjadi masalah utama. Airtoteles[18] menggunakan analitik sebagai sarana untuk menyelidiki argumentasi yang bertitik tolak dari putusan/teori yang benar. Sedangkan untuk menyelidiki argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesa atau putusan/teori yang belum tentu/pasti kebenaranya digunakanlah sarana dialektika. Sebuah putusan dianggap baik jika cukup pertimbangan yang menggambarkan tentang bagaimana hakim dalam mengkualifisir fakta/kejadian, penilaian hakim tentang fakta-fakta yang diajukan dan dasar-dasar hukum yang dipergunakan oleh hakim dalam menilai fakta dan memutus perkara.[19]
3)      Kritis.
Adalah upaya untuk mengembangkan kemampuan menimbangnya selalu obyektif. Untuk itu maka dituntut agar data dan pola berfikirnya selalu logis. Kritis adalah selalu gelisah karena ketidak puas dengan pengetahuan yang diterima nalar/intelektual. Hakim harus gelisah apabila putusanya tidak memberikan rasa keadilan kepada para pihak. Mengkritisi setiap perkara sampai pada persoalan utama penyebab sesungguhnya perceraian dan melihat siapa yang menjadi penyebab utama sebuah perceraian.
Putusan pengadilan yang hanya sampai pada kesimpulan telah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan tidak ada harapan untuk rukun kembali, jika dalam perkara tersebut senyatanya ada pihak yang bersalah dan dalam pertimbangan hukumnya disebutkan tanpa melihat siapa yang bersalah tidaklah memenuhi sebuah karya yang kritis dilihat dari perspektif ilmiah akademik. Karena kesimpulan itu baru sebatas pada amar yang sifatnya dispositif yaitu amar yang memberi hukum mengabulkan atau menolak, belum masuk pada amar yang sifatnya deklaratif. Menemukan siapa yang bersalah dalam perkara perceraian menentukan amar yang bersifat konstitutif, apakah meniadakan ataukah menciptakan sutu keadaan hukum. Apakah perceraian itu diputus dengan menjatuhkan talak raj’i, bain sughra, bain kubra, khuluk atau li’an? Dan menemukan siapa yang bersalah dalam perkara perceraian juga berakibat pada putusan yang amarnya bersifat komdemnatuir seperti menghukum Tergugat membayar nafkah lampau jika memang terbukti bersalah ia telah melalaikannya.
Sedangkan berfikir ilmiah di samping memerlukan tahapan-tahapan di atas juga memerlukan pola penalaran berdasarkan sarana tertentu secara teratur dan cermat.  Sarana-sarana ilmiah yang dimaksud adalah sebagi berikut:[20]
1)      Bahasa Ilmiah, berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berfikir ilmiah.
2)      Logika dan Matematika, mempunyai peranan penting dalam berfikir deduktif sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya.
3)      Logika dan Statistika, mempunyai peranan penting dalam berfikir induktif untuk mencapai konsep-konsep yang berlaku umum.
 Sebagai contoh seandainya ada sebuah putusan yang dalam pertimbangan menyebutkan “…maka tidak perlu lagi dipertimbangkan siapa yang bersalah...” namun dalam dictum “Menghukum Tergugat untuk membayar nafkah lampau…”, dalam tinjauan akademis putusan tersebut dinilai tidak konsisten. Secara logika seseorang dihukum membayar sejumlah uang berarti dia bersalah telah lalai tidak melaksanakan kewajibannya. Putusan yang menyatakan dari bukti-bukti di persidangan telah didapatkan fakta-fakta bahwa termohon terbukti melakukan nusyuz sedangkan dalam pertimbangan hukum selanjutnya dikatakan “…maka tidak perlu lagi dipertimbangkan siapa yang bersalah …”, maka hal tersebut juga inconsistent karena tidak mengikuti pola penalaran akademik. Maka meniadakan kalimat “…dengan tidak perlu melihat siapa yang bersalah…” dinilai lebih logis dan konsisten dalam perspektif akademik.

b.      Dalam perkara perceraian ada yang bersalah.
Tinjauan akademik menghendaki putusan perceraian harus mengandung nilai ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan keadilan. Berikut penulis presentasikan dasar hukum yang mengharuskan dalam perkara perceraian hakim perlu mencari siapa penyebab keretakan;
1)      Pasal 22 PP Nomor: 9 Tahun 1975 dan Pasal 134 KHI.
a)      Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f, diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat.
b)      Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu.
Dalam penjelasan ayat (2) pasal tersebut dijelaskan sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu hendaknya dipertimbangkan oleh hakim apakah benar-benar berpengaruh dan prinsipiil bagi keutuhan kehidupan suami-isteri. Ruh dari pasal tersebut dalam pemeriksaan perkara perceraian hakim dituntut untuk membuktikan:
a)      Apakah ada perselisihan dan pertengkaran serta bagaimana bentuknya?
b)      Apa penyebab perselisihan dan pertengkaran?
c)      Siapa penyebabnya?
d)     Apakah antara suami-isteri tersebut benar-benar tidak ada harapan lagi akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga?


2)      SEMA Nomor: 3 Tahun 1981.
Dalam SEMA tersebut disebutkan bahwa dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung kerap menjumpai pemeriksaan di muka sidang dilakukan terlalu sumir, tanpa nampak adanya usaha yang sungguh-sungguh untuk memperoleh gambaran mengenai kebenaran dan motif yang menjadi latar belakangnya dan tidak diselidiki siapa penyebab dari perselisihan tersebut sedangkan hal ini menentukan bagi hakim untuk memberikan putusannya.[21]
SEMA tersebut pernah digunakan pengadilan tingkat banding untuk membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama karena tidak mencari siapa penyebab perselisihan dan pertengkaran sehingga berakibat merugikan salah satu pihak dalam penerapan hukumnya. (hal ini akan diuraikan pada bagian akhir artikel ini).
3)      Yurisprudensi Mahkamah Agung RI.
Yurisprudensi 441 K/AG/1996 tanggal 22 September 1998 melahirkan kaidah hukum bahwa faktor penyebab perceraian dari pihak suami maka wajiblah ia memberi nafkah kepada istrinya sebelum menikah lagi. Selengkapnya pertimbangan dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan cerai diajukan oleh pemohon sebagai suami, sedangkan faktor penyebab retaknya rumah tangga dari hasil pemeriksaan persidangan adalah dari pemohon sendiri, maka pemohon wajib memberikan nafkah kepada termohon selama termohon belum menikah lagi.[22]
Menggali sebuah perkara sampai mememukan siapa yang bersalah sejatinya telah diperintahkan oleh Kholifah Umar bin Khattab sebagai berikut:
فافهم اذا ادلي اليك وانفذ اذا تبين لك فانه لا ينفع تكلم بحق لانفاذله
Artinya: Pahami persoalan suatu kasus gugatan yang diajukan kepada anda, dan ambilah keputusan setelah jelas persoalan mana yang benar dan mana yang salah. Kerena sesungguhnya suatu kebenaran yang tidak memperoleh perhatian hakim akan menjadi sia-sia.[23]

Perintah Umar bin Khattab tersebut menurut pendapat penulis adalah bahwa hakim harus menggali informasi hingga terang dan jelas duduk perkaranya sampai menemukan siapa yang salah dan siapa yang benar termasuk dalam perkara perceraian, setelah itu baru hakim menjatuhkan putusan. Putusan sebagai pertanggungjawaban intelektual hakim yang memutus berdasarkan rasa keadilan masyarakat dan kepastian hukum atau perpaduan antara pertanggungjawaban dan kepuasan. Putusan yang bertanggung jawab adalah putusan mempunyai tumpuan-tumpuan konsep yang kuat, dasar hukum yang kuat, alasan-alasan dan pertimbangan (hukum dan atau non hukum) yang kuat.[24]

c.       Sejarah Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 38.K/AG/1990 Tanggal 5 Oktober 1991.
Kasus posisi: Pengadilan Agama Pariaman.
·         Pemohon mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama Pariaman pada 10 Februari 1989, dan mohon kepada Pengadilan Agama Pariaman untuk menjatuhkan penetapan yang amarnya mengabulkan permohonan Pemohon dan memberi izin Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak terhadap Termohon di persidangan.
·         Alasan Pemohon pada intinya bahwa Pemohon dan Termohon selalu terjadi perselisihan dan pertengkaran disebabkan Termohon cemburu dan tidak beralasan. Puncaknya Termohon pergi dari rumah pada 15 September 1987 dengan membawa seluruh alat-alat dan perabot rumah tangga termasuk surat-surat pribadi Pemohon berupa SK-ijazah dan buku-buku. Dan sejak itu Termohon tidak pernah kembali.
·         Dalam persidangan Termohon memberikan jawaban yang intinya mengakui dengan klausul Termohon mengaku lari dari kediaman bersama karena pada waktu terjadi pertengkaran Pemohon telah mengancam dan memukul Termohon. Termohon juga mengajukan gugatan balik berupa nafkah anak, madhiah, biaya berobat dan ongkos, idah dan mut’ah.
·         Dalam pertimbangan hukumnya, Pengadilan Agama Pariaman berpendapat Termohon sejak pergi dari kediaman bersama dengan iktikat tidak baik, membawa barang-barang dan tidak menyesali perbuatannya serta tidak kembali pada suaminya maka digolongkan sebagai istri yang nusyuz/durhaka. Maka akibat hukumnya Termohon tidak berhak mendapatkan nafkah madhiah termasuk biaya pengobatan dan ongkos, gugatan rekonvensi tersebut tidak dipertimbangkan.
·         Amar Penetapan Pengadilan Agama Pariaman No: 39/P/1989, 5 Juni 1989.
                          MENGADILI:
-        Mengabulkan permohonan Pemohon;
-        Menetapkan memberi izin kepada Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak terhadap Termohon;
DENGAN MENGADILI SENDIRI:
-        Menghukum Pemohon membayar kepada Termohon nafkah iddah sebanyak Rp. 300.000,-(tiga ratus ribu rupiah);
-        Menghukum Pemohon memberi biaya anaknya 1 (satu) orang sampai dewasa;
-        Membebankan kepada Pemohon biaya perkara sebanyak Rp. 34.500,- (tiga puluh empat ribu lima ratus rupiah);
Kasus posisi: Pengadilan Tinggi Agama Padang.
·         Berdasarkan fakta-fakta persidangan dan pemeriksaan tambahan, Pengadilan Tinggi Agama Padang berpendapat Pembanding meninggalkan Terbanding karena Pembanding tidak tahan lagi menerima ancaman dan siksaan dari Terbanding, sehingga kepergian pembanding dari tempat kediaman bersama tidak dapat digolongkan nusyuz (durhaka pada suami), perselisihan dan pertengkaran tersebut  disebabkan dari Terbanding sendiri, maka tidak dapat dijadikan alasan untuk perceraian sebagaimana dimaksud pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, maka permohonan Terbanding seharusnya ditolak.
·          Bahwa Hakim Pengadilan Agama Pariaman tidak mematuhi Putusan Sela Pengadilan Tinggi Agama  Padang untuk mengangkat hakamain.
·         Pengadilan Tinggi Agama Padang berpendapat bahwa oleh karena Terbanding pihak yang kalah maka dihukum untuk membayar biaya perkara;
·         Amar Putusan PTA Padang No. 20/1989, 26 Desember 1989.
                          MENGADILI:
-        Membatalkan Penetapan Pengadilan Agama Pariaman No: 39/P/1989 tanggal 5 Juni 1989 M bertepatan dengan tanggal 1 Zhulqa’dah 1409 H.
DAN DENGAN MENGADILI SENDIRI
-        Menolak permohonan Pemohon/Terbanding.
-        Menghukum Terbanding membayar biaya yang timbul dalam perkara ini di kedua tingkatan yang untuk tingkat banding sebesar Rp. 16.500,- (enam belas ribu lima ratus rupiah).
Kasus posisi: Mahkamah Agung.
·         Pemohon Kasasi dalam memori kasasi keberatan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang yang pada intinya:
1.      Pengadilan Tinggi Agama Padang salah menerapkan hukum karena alasan-alasan  Pemohon Kasasi telah diakui Termohon Kasasi serta telah dikuatkan dengan alat bukti surat dan saksi akan tetapi Pengadilan Tinggi Agama Padang tetap menolak permohonan Pemohon Kasasi sehingga putusan itu tidak mencerminkan rasa keadilan dan kebenaran.
2.      Pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Agama Padang yang menyatakan bahwa Pembanding pergi meninggalkan Terbanding karena tidak tahan menerima ancaman dan siksaan dari Terbanding oleh karenanya Pembanding belum dapat digolongkan nusyuz  adalah pertimbangan yang keliru karena tanpa didukung dengan bukti-bukti yang lengkap.
3.      Pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Agama Padang yang menyatakan bahwa penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran adalah Pemohon oleh karena itu tidak dapat dijadikan alasan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 adalah pertimbangan yang keliru dan tidak obyektif.
·          Bahwa keberatan Pemohon Kasasi 1 s.d 3 dibenarkan karena Pengadilan Tinggi Agama Padang telah salah menerapkan hukum yaitu Pengadilan Tinggi Agama Padang dalam hal alasan perceraian menurut Pasal 19 f PP Nomor 9 Tahun 1975 masih mencari kesalahan salah satu pihak.
·         Mahkamah Agung berpendapat kalau judex facti berpendapat alasan perceraian menurut Pasal 19 f PP Nomor 9 Tahun 1975 telah terbukti, maka hal ini ditujukan semata-mata ditujukan pada perkawinan itu sendiri tanpa mempersoalkan siapa yang salah dalam hal terjadinya perselisihan dan pertengkaran.
·         Bahwa tidak perlu dan tidaklah patut pecahnya rumah tangga mereka itu dibebankanpada kesalahan salah satu pihak. Mencari kesalahan salah satu pihak dalam hal kenyataan kerukunan tidak mungkin dapat diharapkan akan menimbulkan pengaruh yang tidak baik bagi kedua belah pihak dan anak keturunan di masa yang akan datang. Jalan pikiran ini pulalah yang mendasari ketentuan bahwa biaya perkara selalu dibebankan kepada pihak yang mengajukan permohonan/gugatan dan bukan kepada pihak yang dikalahkan, sepertib lazimnya dalam acara perdata pada umumnya.
·         Amar Putusan Mahkamah Agung No: 38 K/AG/1990, 5 Oktober 1990.
                          MENGADILI:
-        Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi;
-        Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Padang tanggal 12 Desember 1989 M bertepatan dengan tanggal 14 Jumadil Awal 1410 H. No: 20/1989;
DAN DENGAN MENGADILI SENDIRI:
1.      Mengabulkan permohonan Pemohon;
2.      Memberi izin kepada Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak terhadap Termohon;
3.      Menghukum Pemohon untuk membayar nafkah iddah sebanyak Rp. 300.000,-(tiga ratus ribu rupiah) kepada Termohon;
4.      Menghukum Pemohon memberi biaya anaknya 1 (satu) orang sampai dewasa;
5.      Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara dalam tingkat pertama sebanyak Rp. 34.500,- (tiga puluh empat ribu lima ratus rupiah);
-        Menghukum Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam tingkat banding sebesar Rp. 16.500,- (enam belas ribu lima ratus rupiah);
-        Menghukum Pemohon Kasasi akan membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah);
Untuk memahami ruh sebuah yurisprudensi perlu pengkajian mendalam dengan metoda hermeneutika hukum supaya penerapan hukumnya terhadap kontek kekinian dalam kasus yang sama menjadi tepat.
Menurut Ahmad Zainal Fanani[25] hermeneutika hukum adalah ajaran filsafat mengenai hal mengerti/memahami sesuatu, atau sebuah metode interpretasi terhadap teks dimana metode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Teks tersebut bisa berupa teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah kuno atau kitab suci. Dari penelusuran kasus posisi tersebut di atas penulis mendapatkan catatan sebagai berikut:
1)      Perkara tersebut merupakan permohonan izin ikrar talak, dengan TKP di Ranah Minang dimana kearifan lokal dan budaya tetap hidup terpelihara seperti suami tinggal di rumah istri.
2)      Hakim tingkat pertama berpendapat istri nusyuz karena pergi dari rumah, sedangkan hakim tingkat banding berpendapat istri tidak nusyuz karena kepergiannya disebabkan kekejaman suami.
3)      Dalam perkara ini ada perselisihan yang tajam (syiqaq) sehingga hakim tingkat banding memerintahkan hakim pengadilan tingkat pertama mengangkat hakamain, namun tidak dilaksanakan.
4)      Hakim tingkat banding membebankan biaya perkara pada pihak yang kalah yaitu Terbanding/Suami. Pada saat perkara diputus oleh Pengadilan Tinggi Agama Padang, UU No. 7 Tahun 1989 belum lahir, karena baru diundangkan pada 29 Desember 1989, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49.
5)      Kewenangan Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi tidak memeriksa tentang duduk perkara atau fakta melainkan tentang hukumnya. Apakah judex facti salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku?[26]
Dengan membaca “asbabunnuzul” Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 38.K/AG/1990 Tanggal 5 Oktober 1991 maka timbul pertanyaan apakah yurisprudensi tersebut bisa digeneralisir dan diterapkan untuk semua perkara perceraian baik cerai talak maupun cerai gugat dengan alasan apapun bahkan tanpa hadirnya Tergugat sekalipun (verstek)?.
Menurut M. Yahya Harahap, SH. bahwa apabila kasus yang disengketakan tidak ditemukan aturan hukumnya dalam hukum positif dan juga tidak ada dijumpai dalam hukum tak tertulis, hakim dibenarkan mencari dan menemukannya dari yurisprudensi sebagai putusan hakim dalam kasus tertentu (judge decision in a particular case), putusan yang diambil mengandung pertimbangan yang mendasar (ratio desidendi atau basic reason), dan putusan yang dijatuhkan merupakan kasus yang berhubungan dengan perkembangan hukum (low development), sehingga pada hakikatnya perkara yang diputus berkaitan erat dengan perubahan sosial (social change) dan kondisi ekonomi (economic condition).[27]
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH.:[28]
“Yurisprudensi merupakan sumber hukum juga. Ini tidak berarti bahwa hakim terikat pada putusan mengenai perkara yang sejenis yang pernah diputuskan. Suatu putusan itu hanyalah mengikat para pihak (Pasal 1917 BW). Lain halnya dengan di sementara Negara yang menganut asas “the binding force or precedent” atau stare decisis, maka putusan pengadilan tidak hanya mengikat para pihak, tetapi juga hakim. Di Indonesia pada asasnya tidak dikenal asas “the binding force or precedent” (ps.1917 BW)”.

Bahwa perkembangan masyarakat atau zaman mempunyai pengaruh pada putusan pengadilan. Kalau tiap kali ada putusan yang berlainan mengenai perkara sejenis maka tidak ada kepastian hukum. Tetapi sebaliknya kalau hakim terikat mutlak pada putusan mengenai perkara yang sejenis yang pernah diputuskan maka hakim tidak bebas untuk mengikuti perkembangan masyarakat melalui putusa-putusannya.[29] Terakhir penulis ingat pesan Drs. H. Bambang Ali Muhadjir[30] “boleh-boleh saja merujuk yurisprudensi dalam penerapan hukumnya namun sebaiknya dibaca terlebih dahulu yurisprudensi dimaksud”.

D.    PENUTUP
Demikian artikel yang dapat penulis sajikan berangkat dari kegelisahan akademik pada Putusan Pengadilan Agama terdapat kalimat“…maka tidak perlu lagi dipertimbangkan siapa yang bersalah…” atau dengan redaksi berbeda namun sama maksudnya.
1.      Kesimpulan.
a.       Kaidah hukum No fault divorce mengandung konsekwensi bagi pihak yang bersalah tidak kehilangan hak untuk mengajukan perceraian, namun untuk dikabulkan atau tidaknya oleh pengadilan, maka pengadilan tetap wajib mempertimbangkan sebab-sebab pecahnya rumah tangga demi menjaga dan menegkkan prinsip keadilan.
b.      Dampak kalimat “…maka tidak perlu lagi dipertimbangkan siapa yang bersalah…” secara psikologis dapat melukai rasa keadilan bagi salah satu pihak, karena senyatanya dalam setiap perkara perceraian dipastikan ada yang pihak yang bersalah. Secara sosiologis pengadilan dapat dianggap sebagai lembaga legalisasi perceraian/isbat cerai.
c.       Putusan Hakim sebagai karya ilmiah harus dipertanggungjawabkan secara akademik.
2.      Saran.
Perkara perceraian yang diajukan dapat dikabulkan apabila pengadilan yang bersangkutan telah berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan terbukti ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri, namun kalaimat “…maka tidak perlu lagi dipertimbangkan siapa yang bersalah…” tidak harus selalu ditulis secara tekstual dalam putusan.
Penulis sangat sadar bahwa artikel ini masih jauh dari ideal oleh karenanya kritik dan saran ataupun umpan balik dari pembaca sangat penulis harapkan supaya saling melengkapi dan membawa hazanah kelimuan yang berimbas pada kemanfaatan bersama, amin. (m.irfanhusaini@yahoo.co.id)
















DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Arto, A. Mukti, Dr., H. SH., M.Hum. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996.
Bertens, Kess, Dr. Sejarah Filsafat Yunani,, Yogyakarta, Yayasan Kanisius, 1981.
Fauzan, M. Drs., SH., MM., Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, Jakarta, Prenada Kencana, 2005.
Harahap, M. Yahya, SH. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-6, Jakarta, Sinar Grafika,  2007.
Harol H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, alih bahasa Prof. Dr. HM. Rasidi, HM. Prof. Dr. Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta, Bulan Bintang, 1984.
Mertokusumo, Sudikno, Prof. Dr. SH. Hukum Perdata Indonesia, Edisi IV, Yogyakarta, Liberty, 1993.
Muhadjir, Bambang Ali, Drs. H., “Permasalahan Hukum Formil dan Materil dalam Perkara Kewarisan”, judul disampaikan dalam Continuing Judisial Education, pada tanggal 14 Juli 2011 di Mega Mendung, Bogor.
Narboko, Chalid, Drs. dan Achadi, Abu, Drs. H  Metodologi Penelitihan, Jakarta, Aksara, 2005.
Sutopo, P, H. SH., M. Hum., Istilah dan Adagium Hukum, YPPHIM Kantor  Perwakilan Jawa Tengah, Semarang, 2001.
Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Liberty, 1996.
Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 38.K/AG/1990 tanggal 5 Oktober 1991.
Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 441 K/AG/1996 tanggal 22 September 1998.

Perundang-undangan dan Surat:
Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Peraturan Pemerintah Nomor: 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Inpres Nomor: 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
SEMA Nomor: 3 Tahun 1981 Tentang Perkara Perceraian.
SEMA Nomor: 2 Tahun 2004 Tentang Salinan Putusan Untuk Pembahasan Ilmiah dan Penelitian.
Putusan PTA Jakarta Nomor : 48/Pdt.G.2008/PTA.Jk. tanggal 24 September 2008.
Surat Dirjen Badilag MARI, Tentang Dukungan Pimpinan Terhadap Publikasi Putusan Perkara, tertanggal 4 Juni 2010.

Akses Internet:
Fanani, Ahmad Zainal, MHI., MSI, “Hermeneutika Hukum Sebagai Metode Penemuan Hukum: Telaah Filsafat Hukum” www.badilag.net tanggal 22 Januari 2009.
Hamzah, S.Ag., MH. “Ruang Lingkup Peradilan Agama dalam Upaya Penerapan UU No. 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Keluarga Unruk Perkara Perceraian” www.badilag.net Tanggal 11 November 2011.
Naofal, Erlan, S.Ag., M.Ag., “Perkembangan Alasan Perceraian dan Akibat Perceraian Menurut Hukum Islam dan Hukum Belanda”, www.badilag.net   Tanggal 14 Januari 2010.
Simamora, Christian Mangampin Samuel, “Hubungan Ketegangan Suami Isteri dengan Konflik pada Keluarga Bercerai” (Bogor Agricultural University: 2005).   http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/46392


* Hakim Pratama Madya Pengadilan Agama Painan, wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Padang.

[1] Surat Dirjen Badilag MARI, Tentang Dukungan Pimpinan Terhadap Publikasi Putusan Perkara, tertanggal 4 Juni 2010.
[2] Dalam rangka transparansi dan mendukung program penelitian atas putusan pengadilan Mahkamah Agung telah mengeluarkan SEMA Nomor: 2 Tahun 2004 Tentang Salinan Putusan Untuk Pembahasan Ilmiah dan Penelitian.
[3] Sutopo, Istilah dan Adagium Hukum, (YPPHIM Kantor  Perwakilan Jawa Tengah: Semarang, 2001), hal. 25.
[4] Christian Mangampin Samuel Simamora,  “Hubungan Ketegangan Suami Isteri dengan Konflik pada Keluarga Bercerai”, (Bogor Agricultural University: 2005). http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/46392, diakses pada tanggal 13 Desember 2011.
[5]  PTA Jakarta Putusan  Nomor: 48/Pdt.G.2008/PTA.Jk. tanggal 24 September 2008.
[6] Erlan Naofal, “Perkembangan Alasan Perceraian dan Akibat Perceraian Menurut Hukum Islam dan Hukum Belanda”, www.badilag.net   Tanggal 14 Januari 2010.
[7] Ibid.
[8] Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor: 9 Tahun 1975 dan Pasal 51, 116 Kompilasi Hukum Islam.
[9] Hamzah, “Ruang Lingkup Peradilan Agama dalam Upaya Penerapan UU No. 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Keluarga Unruk Perkara Perceraian” www.badilag.net Tanggal 11 November 2011.
[10] Dalam Pasal 15 Undang-Undang  Nomor: 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan bahwa KDRT bisa dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, kekerasan seksual dan penelantaran dalam keluarga.
[11] Pengadilan Agama dianggap sebagai lembaga isbat cerai terjadi di tempat penulis bertugas. Pemohon/Penggugat mendailkan bahwa dirinya sudah cerai di kampung disaksikan tokoh masyarakat dan keluarga. Ketika ditanya mengapa ke pengadilan sementara mereka sudah bercerai, mereka menjawab ingin isbat cerai supaya dapat surat cerai.
[12] Sudikno Mertokusumo,  Hukum Acara…,hal.  93.
[13] Cara-cara ilmiah merupakan syarat mutlak untuk timbulnya ilmu yang dapat diterima oleh akal yang berfikir ilmiyah. Maka suatu pemikiran yang tidak memiliki obyek, struktur, metode dan fakta empiris tidaklah ilmiyah contohnya doktrin agama, mistis, dan magic.
[14] A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hal. 251.
[15] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara…, hal. 174.
[16] Chalid Narboko, Abu Achadi, Metodologi Penelitihan ,(Jakarta : Aksara, 2005) hal. 6.
[17] Harol H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, alih bahasa Prof. Dr. HM. Rasidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hal. 223.
[18] Kess Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta : Yayasan Kanisius, 1981), hal. 136.
[19] A. Mukti Arto, Praktek Perkara…hal 263-264.
[20] Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 1996), hal 68.
[21] SEMA Nomor: 3 Tahun 1981 Tentang Perkara Perceraian.
[22] Mahkamah Agung, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1997), hal 211.
[23] M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta, Prenada Kencana; 2005), hal. 91.
[24] Ibid …, hal 6.
[25] Ahmad Zainal Fanani, “Hermeneutika Hukum Sebagai Metode Penemuan Hukum: Telaah Filsafat Hukum” www.badilag.net tanggal 22 Januari 2009.
[26] Pasal 30 Undang-Undang Nomor: 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
[27] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. ke-6.  (Jakarta: Sinar Grafika,  2007), hal. 830.
[28] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara…hal. 65.
[29] Ibid,…hal. 66.
[30] Bambang Ali Muhadjir, “Permasalahan Hukum Formil dan Materil dalam Perkara Kewarisan”, judul disampaikan dalam acara Continuing Judicial Education, pada tanggal 14 Juli 2011 di Mega Mendung, Bogor.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMOHON MENDALILKAN TELAH TALAK TIGA DI LUAR PENGADILAN, BAGAIMANA SIKAP HAKIM?

Resensi Buku Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Kajian Historis, Filosofis, Ideologis, Politis, Yuridis, Futuristis dan Pragmatis

Disparitas Putusan Hakim